Kamis, 12 Juni 2008

SEMPROTAN LUMPUR LAPINDO

Lapindo tidak sepakat dengan gerakan menutup lumpur lapindo yang dipioneri oleh Rudi Rubiandini, Buya Syafii Maarif, Tjuk Sukiadi, Sholahuddin Wahid, dan tokoh-tokoh lainnya, sebab Lapindo percaya dengan para ahlinya yang disewanya yang menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo itu akibat gempa Jogja. Kasihan deh gempa Jogja jadi tersangka!

Dalam mitos Jawa, konon gempa bumi disebabkan sang pemanggul bumi yaitu Semar atau Dewa Ismaya lagi capek sehingga mengalihkan bumi dari satu pundak ke pundaknya yang lain. Istilah Jawanya adalah: alihan, yaitu: mengalihkan beban, misalnya tadinya di pundak kiri ke pundak kanan. Wah, kalau begitu penyidik Polda Jatim harus mengirim surat panggilan kepada Mbah Semar dong?

Suatu hari, konon Lapindo sanggup mendatangkan ahli. Katanya dari Jepang. Namanya Prof. Mr. Morimoro .Sebelum ahli Jepang itu mempraktikkan keahliannya, lebih dulu diuji di depan para ahli pemboran dan perminyakan serta ahli geologi.

“Apa teori Anda Mister Moro?” tanya Prof. Asukun.

"Ah sederhana saja,” jawab Prof. Morimoro. “Tolong dilihat mulut saya ini ya! Coba saya masukkan air, lalu saya semburkan ..... bruuuuuuuuushshsh! Bedakan dengan kalau saya pakai semprotan ini! Yak...... cuuuuuuuuuuuuurrrrrrrr.....!"

Lebih besar mana volume air yang saya semburkan dengan yang keluar dari semprotan ini tadi?” tanya Morimoro.

“Besar semburan...... !!!!!!!!!!" jawab hadirin serentak.

“Okey? Itulah teori saya, bahwa semburan lebih besar dibandingkan semprotan. Jadi, usaha yang bisa dilakukan menurut saya bukan menghentikan semburan lumpur, tapi pemerintah harus memasang semprotan di bibir lubang tempat lumpur itu menyembur. Maka nanti namanya bukan lagi semburan lumpur Lapindo, tapi menjadi SEMPROTAN LUMPUR LAPINDO.

“Horeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee!" Hadirin bersorak, bertepuk tangan.

"Wah gak waras profesor iki!” kata seorang wartawan Surabaya sambil ngeloyor.

Rabu, 04 Juni 2008

Lapindo Lawan TKI Malaysia

Seorang warga Renokenongo Sidoarjo yang menjadi TKI di Malaysia baru bisa pulang setelah dua tahun peristiwa semburan lumpur Lapindo terjadi. Tanah dan rumahnya di Renokenongo Sidoarjo turut tenggelam, padahal itu dibeli dari tabungannya sebagai TKI. Karena belum mendapatkan uang jual-beli atas tanahnya yang terendam lumpur, ia mendatangani Lapindo.

“Maaf Pak. Bapak harus membuktikan bahwa Bapak punya tanah di sana!” kata petugas Lapindo.

“Dulu ada petok dan surat jual-belinya, tapi ya ikut tenggelam ke lumpur, sebab nggak ada yang njaga.”

“Tanpa bukti, tidak bisa diproses Pak,” jawab petugas itu.

“Katanya bisa dengan cara sumpah kalau nggak ada bukti hak?”

“Wah... sumpahnya harus kolektif Pak, dulu dengan Pak Emha Ainun Nadjib. Nggak ada sumpah gelombang berikutnya. Nanti jadi kayak pendaftaran mahasiswa baru,” kata petugas itu.

“Yah, ini tidak adil Pak. Lalu bagaimana nasib tanah saya yang tenggelam?”

“ Itu bukan urusan kami Pak.”

Karena tidak berhasil, orang itu mendatangi tempat semburan lumpur Lapindo dengan membawa truk sewaan. Lalu ia mengambil beberapa karung lumpur, diangkutnya lumpur itu di atas truk dan dibawa ke kantor Lapindo. Lantas dibebernya lumpur itu di halaman kantor Lapindo, sehingga para petugas Lapindo marah dan mendatangi orang itu.

“Apa maksud Bapak ini?” tanya si petugas.

Orang itu diam saja sambil cengar-cengir. Lalu datanglah si Bos besar Lapindo menghampiri orang itu.

“Bapak telah melanggar hukum karena mengotori halaman kantor kami dengan lumpur itu!” kata Bos Lapindo sambil berkacak pinggang.

“Alah Pak. Wong halaman kantornya dikasih lumpur sedikit aja kok marah, menuduh saya melanggar hukum. Lha Anda kan malah menenggelamkan desa-desa kami, ada puluhan ribu penduduk terusir, tapi para hakim bilang Anda tidak melanggar hukum? Para Jaksa juga bingung menyimpulkan Anda melanggar hukum atau tidak. Iya kan? Saya nggak percaya kalau tanah kantor ini milik Anda. Mana buktinya?”

Si Bos lalu minta petugasnya menunjukkan sertifikat HBG kantor itu ke korban lumpur itu. Dengan cekatan si TKI itu menyambar sertifikat itu, lalu memasukkan sertifikat itu ke dalam lumpur yang dibebernya. Kontan sertifikat itu rusak.

“Wah... kamu ini sembarangan ya, merusak sertifikat tanah kami!” kata Bos Lapindo, marah besar.

“Nggak usah marah Bos! Kita impas kan? Satu-satu. Anda hilangkan bukti hak saya, sekarang saya rusak bukti hak Anda. Pas kan? Hehehe....”

Lalu pergilah orang itu ke Malaysia lagi untuk menjadi TKI. Ia bersumpah tak akan kembali ke negara yang terancam tergenang lumpur. Kecuali kalau ia disuruh jadi presiden RI. Kwakkwakkwak.......!

Bagidot, 4/6/2008.

Lapindo Lawan Pedagang Jamu

Suatu hari, dalam proses transaksi jual-beli tanah dan rumah korban lumpur Lapindo berdasarkan Perpres No. 14/2007 terjadi kegaduhan.

“Bu. Ibu tahu nggak. Tanah ibu ini dihargai lima belas kali lipat dari harga menurut nilai jual obyek pajak (NJOP)-nya. Ibu pernah nggak baca tulisan Emha Ainun Nadjib di koran Surya bahwa lumpur Lapindo itu anugerah agung?” kata petugas Lapindo.

“Loh.... saya maunya 50 kali lipat dari NJOP-nya!” kata Ibu Minah yang dikenal sebagai pedagang jamu itu.

“Dari mana hitungannya?”

“Wah, goblok sampean! Begini: Pertama, tanah saya itu kan semakin tebal dan tinggi karena tergenang lumpur. Tambah tebal sekitar 17 meter dan bisa bertambah lagi. Kalau Lapindo mau menguruk tanah setinggi 17 meter, berapa biayanya? Lagipula, dengan adanya tambahan ketebalan tanah saya itu, cara menghitung harga tanah saya bukan pakai ukuran panjang kali lebar, tapi pakai hitungan: panjang kali lebar kali tinggi. Bukan lagi meter persegi, tapi meter kubik. Iya kan? Kedua, di bawah tanahnya itu ada kandungan gas dan minyak. Berapa harganya itu? Ketiga, kalau nanti bisa menjadi taman wisata lumpur atau suaka-geologi, berapa hasil karcisnya tiap hari?

Keempat, saya kehilangan pelanggan peminum jamu. Berapa kerugian saya per hari sampai dua tahun ini? Kelima, ada ajimat saya agar awet muda yang tenggelam ke dalam lumpur. Padahal itu lebih mujarab dibandingkan spa di salon-salon. Berapa kerugian imateriil saya? Gara-gara ajimat saya itu kan ada ahli dari kampus Unair dan lainnya yang bilang lumpur Lapindo bisa untuk spa? Iya kan? Lha kalau lumpur itu dijual ke salon-salon kecantikan di seluruh dunia, berapa hasilnya?”

Petugas Lapindo itu tak berkutik. Ia membenarkan pendapat Emha bahwa lumpur Lapindo itu anugerah agung. Tapi anugerah bagi Lapindo. Selain anugerah-anugerah itu juga ada anugerah lainnya, yaitu: Lapindo disantuni negara setiap tahun melalui APBN dan APBD.

Bagidot, 4/6/2008

Selasa, 03 Juni 2008

Ada Investor Tertarik Membeli Lumpur Lapindo?

(Senyum / marah sedikit)

IZIN LOKASI USAHA PENGUBURAN KEBODOHAN


Seorang investor asing datang ke Porong Sidoarjo. Ia tertarik membeli kubangan lumpur Lapindo. Gubernur Jawa Timur yang menyertai kunjungannya terheran-heran.

Gubernur : “Untuk apa Mister mau beli kubangan lumpur Lapindo ini?”

Investor : “Oh... itu nanti akan nampak di permohonan izin lokasinya.”

Sebulan kemudian perusahaan investor berdiri dengan nama: PT. Lumpur Makmur beserta seluruh izin usahanya. Tapi Bupati Sidoarjo terkejut ketika direktur PT. Lumpur Makmur mengajukan permohonan izin lokasi yang tertera kalimat : “Untuk mengubur kebodohan.”

Si Bupati heran, apa usaha penguburan kebodohan termasuk bisnis ekonomi yang terdaftar di Dinas Perekonomian?

Bupati : “Mana bisa usaha penguburan kebodohan diberi izin?”

Kabag Ekonomi : “Wah nggak ada Pak.”

Bupati : “Jadi nggak bisa?”

Kabag Ekonomi : “Nggak bisa, Nggak ada dasar hukumnya.”

Bupati : “Tanya ke Menteri Ekonomi?”

Kabag Ekonomi : “Sudah. Katanya nggak ada! Nggak bisa”

Sang investor tersenyum geli. Akhirnya dia mengajukan izin eksploitasi seluruh kekayaan Indonesia dan menghabiskannya. Sebab di Indonesia tak ada izin penguburan kebodohan. Gampang menghabiskan kekayaan bangsa yang pemerintahannya tidak mengizinkan usaha penguburan kebodohan.

Surabaya, 2 Juni 2008