Sabtu, 21 Februari 2009

HUKUM NEGARA , CICILAN LAPINDO, DAN AIR KENCING

Suatu hari, Menteri Keuangan (Menkeu) Indonesia marah-marah gara-gara kedatangan Dirjen Pajak yang membawa surat dari 20 juta wajib pajak korporasi dan perorangan pembayar pajak terbesar, yang mengirim surat pernyataan akan mencicil pembayaran kewajiban pajak mulai Januari 2009.

“Wah, ini tidak bisa dibiarkan! Ini melanggar hukum!” Menkeu menggebrak meja.

“Tapi mereka punya alasan lo Bu Menteri,” kata Dirjen Pajak.

“Apa alasan mereka?” Tanya Menkeu.

“Pada tanggal 3 Desember 2008 lalu Presiden SBY menyetujui kesanggupan Nirwan Bakrie mencicil Rp. 30 juta per bulan per berkas tanah dan atau bangunan korban Lapindo, untuk tanah bersertifikat. Padahal itu kan melanggar ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Nah, para wajib pajak itu minta dispensasi yang sama agar boleh melanggar hukum, seperti yang boleh dilakukan Grup Bakrie,” Dirjen Pajak menjelaskan.

“?????????????!!!!!!!!!!!!!>>>>>>%%%%%%%%........!” Menkeu pusing.

Sama. Korban Lapindo sejak dulu sudah puyeng, sudah banyak yang penyakitan, gila dan mati.

Surabaya, 17 Nopember 2008.


Tiba-tiba, ada berita lagi: 20 wajib pajak badan meminta keringanan kepada pemerintah agar memberi kelonggaran kepada mereka untuk menurunkan cicilan pajak, menjadi lebih kecil lagi.

“Apa-apaan ini? Ini aturan negara dibuat permainan! Apa gunanya aturan! Apa guna negara?” kata Menteri Keuangan marah besar.

“Loh, sejak kapan Bu negara ini tidak dijadikan permainan? Bukankah pasal 15 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 yang sudah dikuatkan dengan putusan MA No. 24/P/HUM/2007 itu juga dimain-mainkan? Grup Bakrie tidak tunduk, dan Presiden diam saja.”

“Bukankah kewajiban pembayaran tunai berdasarkan hukum itu kemudian direduksi jadi cicilan Rp. 30 juta perbulan, lalu direduksi lagi jadi Rp. 15 juta perbulan? Dan itu berlaku hanya bagi yang tanahnya bersertifikat. Bagi korban pemilik tanah yang tidak bersertifikat kan nggak akan dibayar?” sanggah seorang wajib pajak mewakili perusahaan yang sudah tenggelam ke dalam Lumpur.

“Iya ya. Anda benar juga. Kalau begitu, setiap warga negara Indonesia punya hak untuk mencicil dan mempersulit pembayaran kewajibannya dengan cara melanggar hokum negara, seperti yang dilakukan Grup Bakrie ya?” tanya Menteri Keuangan, retoris.

Surabaya, 21 Pebruari 2009, …. ketika air urine saya ketinggalan di Balai RW dan sudah hilang. Ya sudahlah. Aku rela air kencingku hilang, yang penting selang alias saluran keluarnya tidak hilang, seperti hilangnya hukum negara ini, hahaha…….

Tidak ada komentar: