Suatu hari, dalam proses transaksi jual-beli tanah dan rumah korban lumpur Lapindo berdasarkan Perpres No. 14/2007 terjadi kegaduhan.
“Bu. Ibu tahu nggak. Tanah ibu ini dihargai lima belas kali lipat dari harga menurut nilai jual obyek pajak (NJOP)-nya. Ibu pernah nggak baca tulisan Emha Ainun Nadjib di koran Surya bahwa lumpur Lapindo itu anugerah agung?” kata petugas Lapindo.
“Loh.... saya maunya 50 kali lipat dari NJOP-nya!” kata Ibu Minah yang dikenal sebagai pedagang jamu itu.
“Dari mana hitungannya?”
“Wah, goblok sampean! Begini: Pertama, tanah saya itu kan semakin tebal dan tinggi karena tergenang lumpur. Tambah tebal sekitar 17 meter dan bisa bertambah lagi. Kalau Lapindo mau menguruk tanah setinggi 17 meter, berapa biayanya? Lagipula, dengan adanya tambahan ketebalan tanah saya itu, cara menghitung harga tanah saya bukan pakai ukuran panjang kali lebar, tapi pakai hitungan: panjang kali lebar kali tinggi. Bukan lagi meter persegi, tapi meter kubik. Iya kan? Kedua, di bawah tanahnya itu ada kandungan gas dan minyak. Berapa harganya itu? Ketiga, kalau nanti bisa menjadi taman wisata lumpur atau suaka-geologi, berapa hasil karcisnya tiap hari?
Keempat, saya kehilangan pelanggan peminum jamu. Berapa kerugian saya per hari sampai dua tahun ini? Kelima, ada ajimat saya agar awet muda yang tenggelam ke dalam lumpur. Padahal itu lebih mujarab dibandingkan spa di salon-salon. Berapa kerugian imateriil saya? Gara-gara ajimat saya itu kan ada ahli dari kampus Unair dan lainnya yang bilang lumpur Lapindo bisa untuk spa? Iya kan? Lha kalau lumpur itu dijual ke salon-salon kecantikan di seluruh dunia, berapa hasilnya?”
Petugas Lapindo itu tak berkutik. Ia membenarkan pendapat Emha bahwa lumpur Lapindo itu anugerah agung. Tapi anugerah bagi Lapindo. Selain anugerah-anugerah itu juga ada anugerah lainnya, yaitu: Lapindo disantuni negara setiap tahun melalui APBN dan APBD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar